Wednesday, November 7, 2012

kisah inspiratif


“Sipin Putra adalah mahasiswa jurusan antropologi UI angkatan 2003, dan saat ini sedang menempuh pendidikan S2 jurusan antropologi di Pascasarjana UI”
-
Latar Belakang Keluarga Saya
Sebenarnya saya mempunyai motivasi belajar di UI yaitu,  karena UI merupakan kampus terbaik di Indonesia dan berada di Jakarta, yang merupakan ibu kota Indonesia. Bagi saya, Jakarta menyediakan segalanya dan menjadi kiblat dari denyut perekonomian dan kehidupan dari wilayah Indonesia yang lainnya. Program televise yang sering saya tonton, terutama sinetron remaja, iklan, dan sebagainya, membuat saya ingin merasakan belajar sekaligus tinggal di Jakarta. Saya masih polos, tidak memikirkan kehidupan bebas dan hambatan yang mungkin ada di Jakarta. Kalau orang Jawa bilang “wes kadhong kepincut!” mengingat Jakarta merupakan pusat kota yang sering digambarkan sebagai kota yang modern dan metropolitan. Sebelumnya, jujur saya malu jika harus bercerita dari awal. Tapi mau tidak mau saya harus membuka cerita tentang latar belakang keluarga saya. Berikut ini sedikit sekelumit cerita yang pernah saya alami dan rasakan ketika menjadi siswa SMU dan mahasiswa Universitas Indonesia.

Saya berasal dari keluarga yang sangat miskin, bapak saya hanya seorang tukang becak di Mojoagung, bapak sudah sering sakit-sakitan, sedang ibu hanya seorang ibu rumah tangga. Yang lebih parah, bapakku tidak tamat SD, ibuku tidak tamat MI, malah kesulitan untuk baca tulis. Benar bahwa ibu saya merupakan orang yang sangat pemalu. Saya tumbuh dari kecil sampai menamatkan SMU di Jombang. Dari kecil saya terlihat cerdas dan mempunyai minat belajar tinggi. Saya tumbuh dan besar dengan mendapatkan nasihat dan pandangan hidup dari banyak orang. Saya tumbuh menjadi anak yang beretos kerja  keras. Saya diajarkan oleh guru SD saya pada waktu itu untuk lebih rajin bertanya dan selalu duduk di bangku barisan depan. Beragam ilmu saya dapatkan bukan hanya di bangku sekolah saja, tetapi dimana saja, termasuk tempat ketika saya bermain, di ladang, ketika saya membantu Pakdhe menjaga sapi-sapinya, di rumah kakek dengan beragam tokoh wayang kulitnya, di rumah pak kyai dengan beragam buku-buku Islaminya dan sebagainya.

Pada waktu remaja, saya berpikiran bahwa saya mendapatkan pencerahan, kebijaksanaan, hiburan, wawasan berasal dari luar rumah. Kenapa saya berpikiran seperti itu? Kondisi rumah saya pada waktu itu, tidak memungkinkan saya untuk dapat belajar dengan baik. Rumah saya dengan segala keterbatasan fasilitasnya tidak dapat memungkinkan saya untuk tumbuh dengan baik. Namun saya tidak boleh menyalahkan keadaan orang tua saya. Keadaan orang tua yang serba minim termasuk dari segi pengetahuan juga tidak boleh saya salahkan. Semua itu bukan menjadi hambatan bagi saya untuk belajar hingga mampu memaknai hidup. saya masih tetap bersyukur dengan keadaan seperti itu. Dengan keadaan seperti itu, saya mendapatkan banyak pengetahuan di luar rumah dan menjadi dekat dengan banyak orang di sekitar saya.

Masa-Masa SMA
Pada awal mula menjadi siswa SMU 2 Jombang, saya mengajukan keringanan SPP. Sewaktu melakukan daftar ulang, saya mengajak bapak untuk menghadap ke Kepala sekolah. Saya memberanikan untuk menghadap, walaupun saat itu, pihak sekolah tidak membuka keringanan SPP. Saya akhirnya mendapatkan potongan 50 % dari biaya pendidikan yang ada, yang pada waktu itu nominal yang harus dibayar kalau tidak salah sebesar Rp 20.000,00 (kelas 1), Rp 22.000,00 (kelas 2), dan Rp 35.000,00 (kelas 3). Saya, yang waktu itu merupakan siswa SMU 2 Jombang, sering merasa malu karena keadaan kedua orang tua saya mengingat semua teman-teman SMU waktu itu berasal dari keluarga menengah ke atas. Apalagi mengingat hanya ada empat orang siswa SMU 2 Jombang yang berasal dari SMP yang saya seperti saya berasal. Namun demikian, saya tetap optimis dan bersemangat untuk menuntut ilmu di salah satu sekolah terbaik di Jombang ini. Waktu itu, saya berusaha menutupi latar belakang keluarga saya di mata teman-teman (yang mana hal ini tidak patut dicontoh oleh teman-teman lainnya)

Masa remaja saya berjalan dengan indah. Hidup sederhana di desa dan belum terpikir untuk mimpi-mimpi yang besar. Ketika semester 1, di kelas 1 SMU, merupakan awal mulanya masa-masa sulit saya untuk menyesuaikan ritme belajar di sekolah favorit ini. Setiap hari saya harus bangun pagi-pagi sekali sekitar pukul 05.00 untuk persiapan berangkat sekolah. Jam masuk sekolah tiap hari pada pukul 06.30 WIB. Pada pukul 05.30 saya sudah harus berangkat dengan mengayuh sepeda menuju jalan raya untuk kemudian naik angkutan umum. Setiap hari saya mengayuh sepeda sepanjang 4 KM. Perjalanan naik angkutan umum membutuhkan waktu 30-45 menit. Hal ini dikarenakan saya tinggal di desa yang berada  di kota kecamatan. Sedangkan letak SMUN 2 berada di pusat kota Jombang. Setiap hari saya melewatinya dengan melelahkan. Saya setiap hari pulang sekolah pukul 15.00 WIB.

Saya kelihatan kurus karena harus belajar dengan keras. Jumlah buku-buku yang saya miliki sangat sedikit karena saya tidak punya uang untuk membeli buku-buku pelajaran yang layak. Biasanya saya lebih rajin mencatat dan meminjam buku bacaan ke teman kemudian di rumah saya catat buku bacaan tersebut ke buku tulis saya. Di rumah saya belum ada televisi pada waktu itu, sehingga kalau malam hari saya lebih fokus belajar dan mengerjakan PR. Hanya radio yang menjadi sarana hiburan saya ketika saya bosan belajar. Agak menyedihkan memang karena teman-teman SMU saya yang lain sudah sering membicarakan program-program TV yang mereka tonton dalam obrolan mereka sehari-hari. Program-program itu antara lain drama dari Taiwan, Meteor Garden, F4 serta beberapa judul program lain. Awalnya saya malu, karena saya tidak tahu dan belum pernah melihat acara tersebut. Namun saya berusaha menutupi keadaan keluarga saya dengan ikutan mengobrol dengan mereka (sekedar informasi, demi bisa ikutan mengobrol tentang program TV dengan teman SMU, saya kadang harus menonton TV di rumah tetangga). Biasanya kalau saya pulang sekolah, sebelum naik angkutan umum menuju desa saya, saya mampir ke loper koran dan majalah untuk sekedar mengetahui nama-nama artis yang sedang beken pada masa itu. Dari informasi sekilas di halaman muka koran tersebut saya dapat ikut bergabung mengobrol dengan teman-teman SMU. Kalau ingat pada masa itu, kadang saya tertawa lucu dan malu sendiri. Tak berlangsung lama teman-teman sekolah mulai tahu keadaan sosial ekonomi keluarga saya. Yang saya ingat, salah satu dari mereka pernah berkata, “Sipin, kamu mampu menutupi segala kekurangan kamu dengan perilakumu, dan kami semua tidak mengira kamu berasal dari keluarga yang seperti ini. Kami salut kepada kamu karena kamu pantang menyerah untuk sekolah di tempat jauh dan berbeda dengan anak-anak di sini”.

Menginjak kelas 3, saya mulai bersikap dewasa dan mengambil keputusan sendiri mengenai pilihan hidup. Pada waktu itu, setiap hari saya sekolah berangkat pagi dan pulang menjelang malam. Ada tetangga yang mengatakan bahwa saya sebagai anak kampung yang sombong, pilih sekolah SMU saja yang jauh, pulang sampai malam, padahal orang tua saya tidak mampu. Saya memahami mengapa mereka berpikiran dan berkata seperti itu mengingat banyak teman-teman saya di kampung yang lebih banyak memilih sekolah di STM bahkan ada yang DO karena menjelang  kelas 3, dikenakan biaya PKL. Sedangkan saya memilih SMU, karena pilihan pribadi saya, nilai saya mencukupi untuk masuk sekolah tersebut.

Alhasil di desa saya, hanya saya saja  yang sekolah di SMU 2 Jombang. Walaupun orang tua saya tidak mampu namun saya tetap nekad dan berani belajar di sekolah tersebut, dan akhirnya saya mendapatkan keringanan. Pada waktu itu, saya berpikir jika saya sekolah di STM, mungkin saya tidak mendapatkan keringanan seperti di SMU tersebut. Saya memberi pengertian kepada ibu saya agar jika ditanya tetangga, menjawab seperti yang saya jelaskan. Awal kelas 3, saya sudah mulai sibuk untuk fokus dengan kelulusan. Kegiatan pengajian, mulai saya kurangi. Kegiatan sekolah mulai padat karena ditambah dengan les hingga sore hari. Saya mulai fokus dengan belajar agar dapat lulus dengan nilai bagus. Namun pada saat itu di rumah saya, baru dibelikan kakak sebuah televisi. Ada hiburan televisi membuat saya harus benar-benar mengatur waktu. Pada waktu itu, ibu saya sangat suka menonton televisi, apalagi dengan suara keras. Saya merasa terganggu, akhirnya kadang saya mengingatkan beliau. Namun kadang saya masih terasa terganggu sehingga saya lebih suka belajar di rumah teman. Sungguh orang tua saya kadang tidak mengerti dengan keadaan dan ambisi saya pada waktu itu.

Pertengahan kelas 3, saya mulai tidak aktif dengan kegiatan pengajian di kampung. Saya kadang merasa sedih, karena orang tua kurang begitu mendukung keadaan saya yang akan segera menghadapi Ujian Akhir. Kadang saya lebih suka menginap di rumah teman SMU, sambil membawa buku-buku pelajaran. Saya kadang merasa sedih, karena saya tidak seberuntung dengan teman-teman SMU. Mereka selain mendapatkan jam tambahan belajar di sekolah, mereka juga menambah les di bimbingan belajar dan tentunya mendapat dukungan dari orang tua mereka. Beruntung ketika saya meminjam buku les salah satu teman, dia memperbolehkan saya untuk memotokopi buku tersebut. Saya menjadi semakin sedih ketika melihat semakin banyak teman saya yang membicarakan tentang rencana perkuliahan mereka. Tidak hanya itu, biaya yang dibutuhkan selama kelas 3 juga semakin berat mulai dari biaya les tambahan di sekolah, buku yang harus dibeli dan biaya lainnya. Saya menyiasatinya dengan ikut kegiatan koperasi sekolah. Kegiatan ini saya lakukan ketika jam istirahat dengan membantu menjadi staf penjualan di koperasi. Koperasi siswa di sekolah saya menjual beragam makanan ringan, alat tulis serta buku-buku pelajaran. Pada jam istirahat koperasi selalu penuh sehingga membutuhkan tenaga pembantu. Sebagai imbalannya biasanya saya mendapatkan jatah makan siang dan pada akhir tahun mendapatkan sisa hasil usaha.

Menjadi Mahasiswa Universitas Indonesia
Saya masuk Universitas Indonesia melalui jalur PMDK angkatan 2003. Alasannya mungkin cukup klise yakni karena saya dari awal sudah tidak ingin dan tidak mampu secara finansial dalam mengikuti SPMB. Saya harus tahu diri dengan keadaan keluarga saya. Namun, nasib berkata lain dan mungkin semuanya terjadi karena kebetulan saja. Pada waktu itu, PMDK UI merupakan salah satu PMDK yang ada lebih awal daripada PMDK dari universitas-universitas lainnya. SMU 2 Jombang mendapatkan jatah 3 formulir untuk IPA dan 3 formulir untuk IPS. Untuk IPS, ternyata formulir masih tersisa karena peminat PMDK UI tergolong sedikit. Karena saya waktu itu termasuk peringkat 2 jurusan IPS, akhirnya saya disuruh oleh guru BP SMU untuk mengambil formulir tersebut. Tanpa berpikir panjang serta didorong oleh rasa ingin tahu yang kuat akan Jakarta, saya memilih jurusan antropologi dalam mengisi formulir PMDK tersebut. Kenapa antrologi? Sederhana karena waktu itu nilai antropologi saya medekati sempurna, yakni di angka 9.

Ketika menunggu pengumuman PMDK dan ketika teman-teman saya sedang sibuk-sibuknya mengikuti bimbingan belajar, saya harus bangun dari khayalan saya. Waktu itu, saya hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan hasil yang terbaik. Setidaknya saya bersyukur bahwa sudah bisa sekolah dan lulus dari SMU favorit saja sudah merupakan berkah yang membahagiakan bagi saya. Menunggu kelulusan, membuat saya harus bergerak dan bekerja, saya ikut pamanku kerja tambal ban di jalan Porong Sidoarjo. Saya sempat sedih karena ilmu saya yang saya dapat selama SMU seakan tidak berguna ketika saya harus menjadi tukang tambal ban sementara waktu.

Saya sempat diam-diam ikut seleksi masuk Akademi Perikanan di Sidoarjo, dan hasilnya saya diterima. Namun, saya tidak diperbolehkan paman dan ortu saya mengingat menempuh pendidikan di situ memerlukan biaya yang mahal dan pendidikannya bersifat semi militer. Sembari menunggu orang yang ingin menambal bannya, saya menyempatkan diri untuk membaca buku-buku tes STAN. Namun keinginan saya untuk berkuliah di STAN lagi-lagi ditolak oleh kedua orang tua saya. Alhamdulillahnya, ketika pengumuman PMDK sudah ada, saya ternyata berhasil diterima. Hasil ini sebenarnya saya tanggapi dengan respon biasa saja bahkan kesedihan saya justru mulai tumbuh apalagi setelah melihat biaya yang harus saya bayar mencapai 2 juta rupiah.

Setelah mengetahui pengumuman ini, tubuh saya tiba-tiba menjadi kurus karena saya pusing memikirkan bagaimana menindaklanjuti pengumuman PMDK tersebut. Orang tua saya juga jatuh sakit. Untungnya saya banyak dibantu pihak sekolah agar bisa berangkat ke Depok dimana UI berada. Dengan modal nekat dan dibantu oleh beberapa pihak, akhirnya saya berangkat ke Depok pada 28 Juni 2003 dengan menaiki kereta.

Setibanya di UI, saya dibantu salah satu keluarga dari guru SMU saya untuk sementara tinggal di kontrakan yang dimilikinya. Saya mendapatkan keringanan untuk pembayaran SPP. Ternyata di UI, menyediakan beragam beasiswa dan kemudahan bagi kita untuk mengembangkan kreativitas, entah bekerja part time misalnya dengan mengajar privat dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya masalah finansial bukanlah halangan utama bagi saya dan teman-teman semua jika memang kita punya niatan kuat untuk belajar di Universitas Indonesia. Terlebih saat ini di UI banyak sekali program beasiswa yang tidak hanya berupa pembebasan uang pendidikan namun juga memberikan uang saku bulanan, latihan kepemimpinan dan lain sebagainya.

Selama kuliah di tahun pertama, saya fokus kuliah dan belajar akademis. Memasuki tahun-tahun berikutnya, saya mulai aktif mengajar les, mengajar mengaji, membuat tulisan di majalah, sampai membantu sebuah keluarga untuk membersihkan rumahnya (kerja apapun untuk bertahan hidup, asalah pekerjaan tersebut halal). Semua itu saya lakukan di sela-sela kesibukan kuliah. Selain itu saya juga sempat bekerja sebagai freelance di Kompas, peneliti di Radio Indika FM dan masih banyak lagi. Di titik ini, saya sadar bahwa saya harus pintar membagi waktu. Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan beasiswa pada semester tiga, yang mana beasiswa tersebut tentunya bisa membantu saya memenuhi kebutuhan bulanan saya.
Kesan Selama Berkuliah di Universitas Indonesia
Mengenai kesan kuliah di UI. Saya banyak mendapatkan keuntungan. Hidup di Jakarta ternyata juga menambah jumlah keluarga baru bagi saya. Saya mendapatkan beberapa keluarga baru semenjak tinggal di Jakarta. Berkah dari sikap saya yang selalu berhubungan baik dengan orang-orang baik yang ada di sekitar saya. Prinsip saya adalah mendapatkan teman baik adalah mudah, mempertahankan hubungan baik itu untuk tetap bersilaturahmi dengan kita, itu yang susah! Dari mereka, saya mendapatkan banyak link dalam mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Saya bisa jalan-jalan dan penelitian di berbagai daerah. (yang jelas harus pintar menjaga diri dari pergaulan yang tidak baik). Prinsip saya, berusaha berpikir positif, jangan pernah menyesal, kita harus selalu kreatif dan berusaha, walaupun pelan-pelan. Allah itu maha mendengar, jadi setiap usaha dan doa kita pasti ditindaklanjuti oleh-Nya.

Walaupun tidak didukung secara finansial, namun keluarga di kampung mendoakan saya. Sejak awal mereka tidak bisa mengirimi uang untuk biaya hidup di Jakarta. Mereka hanya bisa berpesan agar berhati-hati ketika belajar dan bergaul di Jakarta. Saya mau tidak mau harus legowo akan keadaan ini. Saya mendengarkan saja nasihat mereka dan tetap kontinyu memberi kabar, keadaan saya di Jakarta. Keluarga bagi saya sangat penting. Sama pentingnya dengan orang-orang yang ada di sekitar saya, yang saya anggap sebagai keluarga saya juga, misalnya pak kyai, guru ngaji, guru SMU dan lain sebagainya. Mereka semua juga berjasa dalam membimbing dan membesarkan saya.

Pada waktu itu saya tetap berhubungan dengan guru SMP saya sehingga saya diperkenalkan dengan saudaranya yang merupakan dosen di Fakultas Teknik UI, dan akhirnya menjadi orang tua asuh saya selama 2 tahun. Sampai sekarang saya masih berhubungan baik dengan beliau. Dari keluarga beliau saya mendapatkan makna hidup, bahwa hidup harus berguna dengan sesama, serta waktu harus dipergunakan sebaik mungkin untuk belajar dan berjuang. Awalnya saya sangat susah menjalani itu semua karena saya hidup sendiri di Jakarta. Ada beberapa nasehat yang masih saya terapkan dalam hidup saya, yaitu agar tidak lupa keadaan hidup saya pada masa lampau. Ibu asuh saya meyakinkan kepada saya bahwa saya tidak boleh melupakan masa pahit saya sebelumnya.


Saya berusaha untuk ikhlas  dalam menghadapi segala kenyataan hidup yang saya jalani. Setiap bertemu dengan teman, adik kelas, dan sebagainya saya selalu memberikan cerita bahagia, cerita semangat dan hal-hal yang membuat kita maju (karena dengan cerita-cerita ini, secara tidak langsung saya juga ikut terpacu untuk berbuat lebih baik). Dan ini bukan hanya cerita saja, tapi saya bisa membuktikannya. Saya ikhlas, waktu itu sebelum berangkat kuliah ke Jakarta, saya dicemooh beberapa warga yang mengatakan, saya sombong, tidak tahu diri, tidak berkaca dengan keadaan keluarga, dan sebagainya. Saya sangat berjuang waktu itu, walaupun dengan modal nekat dan seadanya namun Alhamdulillah pada Agustus 2007, saya berhasil menjadi sarjana. Selepas wisuda, saya langsung bekerja di Radio Indika FM. Setelah bekerja di radio tersebut, saya bekerja di SCTV, ya stasiun televise yang mengenalkan saya pada dunia hiburan atau entertainment. Namun, sayangnya walaupun gaji saya waktu itu pas-pasan, saya cenderung betindak konsumtif. Membeli kopi mahal, berburu pakaian ketika ada great sale dan sebagainya adalah kebiasaan saya. Untungnya saya bisa mengendalikan tindakan konsumtif tersebut ketika mengingat keadaan ekonomi keluarga saya di kampung halaman.

Melanjutkan Pendidikan S2
Melihat banyak teman saya melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S2, membuat saya juga ingin melakukan hal yang sama. Saya terpacu dengan semangat mereka untuk menuntut ilmu setinggi mungkin. Saya menyadari bahwa suara jiwa saya adalah meningkatkan kualitas ilmu saya dan mengabdi di dunia pendidikan. Atas dasar itu, saya mengambil keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Waktu itu ada pilihan antara masih bekerja di SCTV dan kuliah pada malam hari. Namun biayanya sangat mahal dan bukan jurusan Antropologi seperti yang syaa inginkan. Akhirnya saya nekad untuk keluar dari SCTV dan kembali ke kampus UI depok. Setelah saya tidak bekerja lagi, saya sudah jarang mengikuti acara atau kegiatan dengan teman-teman kantor dan saya lebih sering beraktivitas di sekitar kampus. Saya mulai berhubungan kembali dengan teman-teman dari daerah, teman teman kampus dan lain sebagainya.

Sebelumnya saya sempat gagal seleksi administrasi untuk program beasiswa ke Australia, usut punya usut, karena kemampuan Bahasa Inggris saya yang tidak memenuhi persyaratan. Walaupun demikian, saya tetap melanjutkan pendidikan S2 saya di Universitas Indonesia. Biaya S2 jurusan antropologi cukup mahal mencapai 6,6 juta rupiah per semester, namun walaupun tanpa beasiswa, saya nekat untuk mengambil program tersebut. Alhamdulilah, saya bisa bekerja paruh waktu di Lembaga Penelitian UI dan menjadi peneliti lepas untuk riset-riset profesor saya. Saya masih tetap sibuk dengan beragam pekerjaan di kampus yang meningkatkan kualitas keilmuan saya.

Sekarang saya mulai memasuki semester 3 di Pascasarjana Antropologi. Perjuangan saya masih panjang. Tahapan-tahapan lain masih banyak yang belum saya hadapi. Saya berharap dapat melalui tahapan tersebut dengan hasil yang memuaskan. Selain itu saya masih berkeinginan untuk mempelajari semua kebudayaan yang masuk dan membentuk pribadi saya. Sampai sekarang, makna dan karakter saya terbentuk dari lingkungan yang membesarkan saya. Semoga saya dapat mencapai apa yang saya cita-citakan dan mampu membentuk diri saya menjadi manusia yang lebih bijaksana dan berkualitas.

Untuk adik-adik dan semua yang membaca kisah ini, semoga semuanya dapat bersemangat untuk mencapai cita-citanya. Teruslah bermimpi, karena dengan mimpi kalian akan mempunyai semangat untuk mewujudkannya. Hapuslah semua ketakutan untuk berkuliah di UI termasuk terkait dengana biaya pendidikan. Percayalah, tidak ada yang tidak mungkin dalam dunia ini. Jika kita berusaha dan berdoa dengan tulus, Insya Allah, Allah SWT akan mendengarkan doa kita. Ayo, semangat teman-teman semua! Ayo tingkatkan kualitas hidup kalian! Selamat berjuang!

sumber: http://imuijombang.org/?p=828
Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...

0 comments:

Post a Comment