KISAH INSPIRATIF ORANG MISKIN MENJADI SUKSES
Siapa
yang tak kenal Profesor Rhenald Kasali Ph.d, Profesor Azyumardi Azra Ph.D dan
Profesor Yohannes Surya Ph.D? Mereka telah terakui secara nasional, dan bahkan
juga internasional, sebagai para pakar di bidang masing-masing. Siapa sangka
bahwa ketiganya adalah orang-orang yang dulunya berasal dari kalangan tak
mampu, miskin dan serba terbatas. Mereka beritiga mengaku pernah merasakan
setiap hari makan nasi hanya ditemani garam, karena sulitnya hidup keluarga
mereka.
Seorang
Rhenald, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, harus melalui masa
kecil dalam kondisi perekonomian keluarga sangat terbatas. Ia terbiasa
berangkat sekolah sejak pukul setengah lima pagi untuk berlari-lari mengejar
bis karena jarak rumah dan sekolah yang lumayan jauh. Ia juga pernah merasakan
tak pernah bisa memakai sekolah baru, karena ibunya hanya sanggup membelikannya
sepatu bekas. Ia juga pernah mengalami pahitnya tinggal kelas saat kelas lima
SD. Namun semuanya tak mengurungkan niatnya yang sangat besar untuk terus
sekolah. Hingga Ia mampu menamatkan SMA-nya. Berbekal uang sepuluh ribu rupiah,
ia nekat membeli formulir pendaftaran masuk perguruan tinggi. Saat diterima di
UI, ia harus dihadapkan pada kesulitan bayar biaya kuliah. Dan ia harus bekerja
keras untuk bisa membiayai sendiri kuliahnya serta berburu beasiswa. Minatnya
tak berhenti saat ia mampu meraih gelar sarjananya. Ia kemudian berburu
berbagai beasiswa untuk bisa meneruskan kuliah S2 dan S3 di Amerika Serikat.
Dan tentu saja beragam kisah dan pengalaman unik mengiringi perjuangannya
hingga ia mampu meraih gelar doktor di University of Illinois, Amerika Serikat.
Tak kalah
seru kisah hidup Profesor Azyumardi Azra, mantan Rektor Universitas Islam
Negeri (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Azyumardi yang besar di Padang
ini, berayahkan seorang tukang kayu dan batu, dengan ibu seorang guru agama. Ia
dekat dengan segala keterbatasan ekonomi. Namun visi dan misi yang besar
terhadap pendidikan dari orang tuanya, mendorong Ia turut menggandrungi dunia
sekolah. Ia bisa membaca sebelum sekolah, karena gemar memelototi nama bis yang
lewat di jalan raya dekat rumahnya. Saat SMP dan SMA, ia harus rela membawa
bekal lauk pauk untuk makan seminggu dari rumah ke kos karena keterbatasan uang
dari orang tuanya. Ia juga mau bekerja serabutan di bengkel mobil, hingga jadi
tukang jahit di sela-sela sekolahnya, untuk menambah uang saku. Dan kerja
kerasnya terus berlanjut saat ia harus membiayai sendiri kuliahnya di Jakarta.
Lulus menggondol ijazah S1, ia langsung memantapkan niat untuk melanjutkan ke
S2 dan S3. Serupa seperti Rhenald, Ia rajin berburu beasiswa ke luar negeri dan
sponsor dalam negeri untuk mendukung upayanya. Perjuangan keras dan berbagai
kisah unik pun mengiringi perjalanan hidupnya saat ia diterima kuliah di
Columbia University Amerika Serikat dan sekaligus harus menghidupi istrinya
hingga meraih gelar doktor.
Dan
beratnya hidup untuk bisa sekolah setinggi mungkin untuk keluar dari
kemiskinan, juga dipikul oleh Profesor Yohannes Surya. Rektor Universitas
Multimedia Nusantara sekaligus pakar ilmu fisika ini, sejak kecil sudah harus
terbiasa bangun pukul 3 pagi untuk membantu sang ibu membuat kue dagangan.
Ketertarikannya yang besar pada fisika, mata pelajaran momok bagi kebanyakan
anak sekolah, justru menjadi kunci keberhasilannya kemudian. Saat lulus SMA, ia
harus memutar otak untuk menyiasati biaya kuliahnya. Ia bersaing dengan banyak
orang untuk masuk perguruan tinggi melalui PMDK, dan ia memilih jurusan yang
paling sedikit diminati yaitu fisika. Klop sudah, perhitungannya benar dan ia
melenggang masuk Universitas Indonesia. Tinggal kemudian ia harus berpikir
keras untuk mencari uang untuk biaya kuliah. Dan kegemarannya pada fisika
lagi-lagi menolongnya. Ia memanfaatkan kepintarannya untuk memberi les privat
fisika pada anak-anak SMA serta membuat buku tentang fisika, di samping berburu
beasiswa. Dan seperti dua koleganya di atas, penggagas dan ketua tim Olimpiade
Fisika Indonesia ini pun juga sudah mewacanakan untuk bisa melanjutkan kuliah
hingga S3 sejak jauh-jauh hari. Ia memiliki moto hidup Mestakung, atau Semesta
Mendukung. Dan Mestakung inilah yang membuatnya mantap membuat paspor meski
belum mendapatkan beasiswa di luar negeri. Apa sebenarnya konsep Mestakung itu?
Dan apa saja kisah-kisah unik yang menyertainya saat kuliah di Physics Dept.
College of William and Mary, Amerika Serikat dengan kemampuan bahasa Inggris
pas-pasan namun mampu meraih gelar doktor dengan predikat Summa Cum Laude?
Banyak
jalan menuju Roma, hal ini lah yang diyakini para nara sumber Kick Andy kali
ini dalam mengejar mimpinya. Misalnya kisah Winarno, seorang anak yang lahir
dari keluarga miskin. Ayahnya seorang informan polisi yang tidak lulus SD dan
ibunya seorang tukang pijat yang buta huruf.
Masa
sekolah dan kuliah Winarno identik dengan perjuangan keras, dari urusan biaya,
fasilitas untuk bersekolah, hingga transfortasi yang cukup jauh. Satu prinsip
kuat yang ia yakini saat itu adalah, kalau pintar pasti bisa berhasil. Maka ia
pun memompa semangatnya untuk bisa meraih nilai tertinggi. Untuk urusan kuliah,
ia menemukan taktik untuk bisa memperoleh sekolah gratis.
Dari
seluruh perjuangannya, Winarno kini sudah meraih gelar professor untuk bidang
ilmu dan teknologi pangan. Di usianya yang sudah berkepala tujuh, ia masih
aktif sebagai Rektor di Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta.
Kisah
Basuki asal Sragen, lain lagi. Sejak kecil ia disibukan dengan urusan membantu
perekonomian keluarga dari mulai jualan kantong plastik, semir sepatu, atau
ngojek paying saat hujan. Kala itu keluarga mereka hijrah ke Ibukota untuk
meningkatkan taraf hidup dan malangnya, tidak berhasil. PHK yang menimpa
ayahnya, kemudian memaksa keluarga ini kembali ke kota asal mereka, Sragen.
Menjelang
masa kuliah, Basuki mulai merambah usaha baru, yakni jadi loper koran. Jadi
masa kuliah pun ia jalani sambil berjualan koran dan di waktu luang jadi
pedagang asongan.
Pada
Januari 2010 lalu, Basuki mendapatkan pengukuhan gelar Doktor Ilmu Komunikasi
dari Universitas Indonesia. Dan kini tercatat sebagai dosen di Universitas
Pembangunan Nasional, Yogyakarta.
Dari
Yogakarta, ada kisah menarik milik Purwadi. Putra pasangan Ridjan dan Yatinem
ini harus bekerja keras sejak kecil agar bisa meneruskan sekolahnya hingga ke
bangku kuliah. Ayahnya seorang buruh tani dan ibunya yang penjual bakul sayur,
tak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup untuk membiayainya.
Alhasil
Purwadi harus pintar-pintar mencari cara. Masa kuliah ia berjualan kantung
gandum, menjual majalah bekas, hingga memberi les gamelan. Untuk mengirit biaya
buku dan makanan, ia memiliki trik trik khusus semasa kuliah. Perjuangan yang
tak kenal lelah telah mengantar Purwadi meraih gelar Doktor Filsafat dari
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta
Anda
mengenal Saldi Isra? Seorang Ahli Hukum Tata Negara yang cukup menonjol di
tanah air. Di usianya yang ke 42 tahun, ia sudah menyandang gelar Profesor
Doktor. Tahukah anda Saldi Isra lahir dari keluarga seperti apa?
“Orang
tua saya petani yang buta hurup, dan masa sekolah saya harus dilakukan sambil
membantu orang tua membajak sawah,” katanya saat tampil di Kick Andy.
Kisah
yang penuh spirit juga hadir dari seorang dokter bedah syaraf kaliber dunia,
Eka Julianta. Dokter yang telah berhasi melakukan banyak operasi otak dan
batang otak ini, kini sering mendapat undangan untuk melakukan presentasi di
berbagai Fakultas kedokteran dan symposium di berbagai Negara baik Asia,
Afrika, Eropa dan Amerika.
Tapi
tahukah anda, bahwa perjuangan Eka, untuk mengejar mimpi dan mewujudkan
cita-citanya sebagai dokter, dimulai dengan membantu ibunya menumbuk singkong
getuk, dan menjajakannya di sekolah.
sumber: http://masrofi.blogspot.com/2012/03/kisah-inspiratif-orang-miskin-menjadi.html
0 comments:
Post a Comment