Tingkat pencemaran lingkungan laut Indonesia masih tinggi, ditandai antar lain dengan terjadinya eutrofikasi atau meningkatnya jumlah nutrisi disebabkan oleh polutan. “Nutrisi yang berlebihan tersebut, umumnya berasal dari limbah industri, limbah domestik seperti deterjen, maupun aktivitas budidaya pertanian di daerah aliran sungai yang masuk ke laut,” kata Soen`an H. Poernomo mantan Kapusdatin KKP
Pencemaran di laut bisa pula ditandai dengan meningkatnya pertumbuhan fitoplankton atau algae yang berlebihan dan cenderung cepat membusuk. Kasus-kasus pencemaran di lingkungan laut, yang disebut red tide itu, antara lain terjadi di muara-muara sungai, seperti di Teluk Jakarta tahun 1992, 1994, 1997, 2004, 2005, 2006.
Di Ambon terjadi pada tahun 1994 dan 1997, di perairan Cirebon-Indramayu tahun 2006 dan 2007, Selat Bali dan muara sungai di perairan pantai Bali Timur tahun 1994, 1998, 2003, 2007, dan di Nusa Tenggara Timur tahun 1983, 1985, 1989.
Meski kerap terjadi, inventarisasi terjadinya red tide di Indonesia sampai saat ini masih belum terdata dengan baik, termasuk kerugian yang dialami. “Mungkin kurangnya pendataan red tide ini disebabkan oleh kejadiannya yang hanya dalam waktu singkat,” katanya.
Karena itu untuk menanggulangi red tide sebagai bencana, beberapa lembaga Pemerintah dan institusi pendidikan telah melakukan penelitian meskipun masih dilakukan secara sporadis.
Secara umum, kerugian secara ekonomi akibat dari red tide ini, adalah tangkapan nelayan yang menurun drastis, gagal panen para petambak udang dan bandeng, serta berkurangnya wisatawan karena pantai menjadi kotor dan bau oleh bangkai ikan.
Efek terjadinya red tide juga ditunjukkan penurunan kadar oksigen serta meningkatnya kadar toksin yang menyebabkan matinya biota laut, penurunan kualitas air, serta tentunya menganggu kestabilan populasi organisme laut.
“Akibat lautan tertutup dengan algae pada saat berlimpah, maka matahari sulit untuk menempuh ke dasar laut dan pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam laut,” katanya.
Selain itu, sebagian algae juga mengandung toksin atau racun yang dapat menyebabkan matinya ikan dan mengancam kesehatan manusia bahkan menyebabkan kematian apabila mengkonsumsi ikan yang mati tersebut. “Tanpa adanya limbah, sebagai fenomena alam sesungguhnya meningkatnya pertumbuhan algae ini sangat jarang terjadi,” katanya.
Sementara Slamet Daryoni dari Walhi Jakarta mengatakan bahwa pencemaran berat terutama di kawasan laut dekat muara sungai dan kota-kota besar. Selain karena polusi yang berasal dari limbah industri yang berlebihan, pencemaran laut juga disebabkan oleh ekploitasi minyak dan gas bumi di lautan. Namun yang paling penting adalah akibat kebijakan dan perhatian pemerintah yang sangat kurang terhadap kelautan di Indonesia.
Selanjutnya Slamet Daryoni menjelaskan bahwa di sisi lain, tingkat pencemaran di beberapa kota termasuk di Jakarta sudah sangat memprihatinkan, sebagai contoh, adalah karena ada kaitan dengan kebijakan yang tidak berpihak kepada lingkungan. Di perairan Teluk Jakarta saja, kondisi cemar beratnya sudah mencapai 62 pesen. Padahal ini terjadi di Jakarta, pusat pemerintahan, pusat kebijakan. Terlebih lagi ketika pemerintah membuat kebijakan mengenai hal ini di tahun 2007. Lalu mengenai sungai. DKI Jakarta memiliki tiga sungai. Pencemaran dalam konteks cemar beratnya kini mencapai 94 persen.
Slamet Daryoni juga menjelaskan mengenai kegiatan ekplorasi gas dan minyak yang berdekatan dengan laut. Sisa pembuangannya dibuang di lautan. Misalnya kita lihat kembali kasus Minahasa yang mengakibatkan warga mengalami sakit yang luar biasa akibat arsen, mercuri dan zat kimia lainnya.
parah [-(
ReplyDelete